Selasa, 24 Januari 2012



PROFIL TEATER KITA MAKASSAR

 
Sawah Yang Mengetuk Jendelaku, 10 Mei 2008, kolaborasi dengan Arie Van Duijn Ellin Krinsly dari 
kelompok “Between“ (Antara) Sydney-Australia pada tanggal 10 Mei 2008, di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar.

Alamat: Hartaco Indah Blok IV AD/10 Makassar
Telp. (0411) 869071 – Hp. 08124251135 – email : teaterkita@hotmail.com

Pada tanggal 1 Oktober 1993, ia bersama beberapa seniman muda Sulawesi Selatan dari berbagai ketrampilan seni, mendirikan Teater Kita Makassar. Menurut Asia Ramli Prapanca, ketua Teater Kita Makassar, pembentukan kelompok teater tersebut berdasarkan hasil diskusi mengenai perlunya satu wadah untuk memikirkan bentuk seni pertunjukan teater yang bersifat kolaboratif, yakni menggabungkan gagasan atau ide-ide seni, baik seni tari, seni musik, seni sastra, seni rupa, seni drama, maupun seni media. Selanjutnya Ram Prapanca mengemukakan, bahwa Tater Kita Makassar dibentuk untuk menumbuhkembangkan bentuk seni pertunjukan teater modern kontemporer, yaitu tidak terikat pada hukum-hukum teater konvensional, tidak dikungkung oleh aturan naskah, dan kekuasaan sutradara, akan tetapi  lebih mengutamakan pemikiran, gagasan atau ide-ide bersama. Dalam hal ini, baik ketua grup, penulis naskah, maupun sutradara bukan lagi satu-satunya pusat pemberi pemikiran, gagasan atau ide-ide dalam menyusun bentuk naskah, bentuk latihan, bentuk pertunjukan, bentuk artistik, pemilihan casting, bentuk pentas, dan menejemen pemasarannya, akan tetapi semua anggota grup dan pendukung pertunjukan teater yang akan dipentaskan memiliki hak yang sama sesuai dengan kemampuan intelektual, rasa dan karsanya.
Selanjutnya Ram Prapanca menjelaskan bahwa Teater Kita Makassar dibentuk untuk membangun bentuk kerja teater secara kolektif, menumbuhkembangkan bentuk teater kontemporer dengan menggali kekuatan-kekuatan budaya lokal tempat para anggota atau pendukung dilahirkan dan dibesarkan, yang memiliki daya pengalaman dan cita rasa yang tinggi, lalu dikawinkan dengan peristiwa-peristiwa zaman baik secara lokal, regional, maupun global, dengan berbagai tematik yang sedang aktual.
Di dalam buku yang berjudul Profil 5 Teater di Makassar, Yoedhistira Sukatanya selaku penulis buku tersebut menceritakan tentang proses berdirinya Teater Kita Makassar dengan gaya deskripsi. Yoedhistira mendeskripsikan bahwa pada malam tanggal 1 Oktober 1993, sekitar pukul sembilan  di Warung Kopi kaki lima milik Daeng Rombo, berlokasi di sisi barat seberang jalan Ujungpandang, tepat di depan Benteng Fort Rotterdam Makassar, beberapa aktivis kesenian yang sering mangkal latihan di Benteng peninggalan Kerajaan Gowa abad XVI, tampak tengah asyik berbincang-bincang. Sesekali mereka secara acak menyerumput kopi dari gelas yang tersaji di atas kursi kayu. Mereka adalah seniman muda Sulawesi Selatan dari berbagai keahlian seni, antara lain seni rupa, sastra, tari, musik, teater, dan media. Mereka memiliki komitmen pada pertumbuhan dan perkembangan kesenian Sulawesi Selatan pada umumnya dan seni teater pada khususnya. Seniman tersebut antara lain: Asia Ramli Prapanca yang dikenal sebagai sutradara dan penyair, Is Hakim sebagai perupa, Moch. Hasymi yang juga dikenal sebagai sutradara/penyair, Basri B. Silla sebagai pemusik, Malhamang Zam-zam sebagai sutradara, Goenawan Monoharto disamping dikenal sebagai penyair dan fotografer, juga dikenal sebagai wartawan, dan  Sukma Sillanan sebagai penata lampu.
Selanjutnya Yudhistira bercerita dalam buku tersebut di atas bahwa, pada awalnya mereka hanya terlibat obrolan santai. Tat kala malam kian larut, obrolan pun kian serius. Gelas-gelas kopi telah disingkirkan, diganti dengan gelas berukuran besar bersisian dengan botol-botol bir. Tema obrolan pun berangsur menghangat. Mereka mulai membicarakan tentang suasana berkesenian yang dianggap semakin menjenuhkan, mengalami stagnasi, dan kurang inovatif. Dalam kesempatan itu pula, mereka juga membicarakan berbagai konflik internal dan eksternal grup kesenian yang tengah menggerogoti “rumah-rumah kreativitas”. Kegelisahan bergulir dari kepala ke kepala, dari hati ke hati, kemudian melahirkan gagasan untuk membuat suatu kelompok teater alternatif berbeda dari yang telah ada ketika itu.
Saat bulan sabit bersinar di singgasana langit malam, hati mereka pun ikut tersabit beragam gagasan alternatif. Sulit memilih satu nama yang dapat menampung obsesi mereka. Ketika secara bersahaja terlontar usulan nama Teater Kita Makassar (TKM), serta merta nama tersebut mereka sepakati. Perbincangan menarik itu berlangsung subuh hari dan mereka kemudian bergegas pulang ke rumah masing-masing. (Yudhistira dalam buku Profil 5 Teater di Makassar, 2001: 96 – 97).  
            Grup Teater Kita Makassar yang sampai kini dipimpin oleh Ram Prapanca, yang beralamatkan di jalan Daeng Tata Hartaco Indah Blok IV AD/10 Makassar ini beranggotakan seniman-seniman muda berbakat, yang selama ini menjadi tulang punggung Teater Kita Makassar, antara lain; Is Hakim (seni rupa pertunjukan), Hamrin Samad (seni musik dan movement art), Faisal Yunus (seni rupa dan teater), Ridwan Aco (seni tari), Andi Tenri Awaru (seni teater dan tari) Rahman Labaranjang (seni rupa dan teater), Idris Edo (seni teater dan teknik otomotif), Agus Riyadi (seni rupa dan media), Baharuddin Goccang (desain grafis), Sudirman Leo (seni musik dan teater), Satriani (seni tari), dan Sri Indrayanti (seni tari), serta Sayidiman (seni musik).
Grup yang masih terus menunjukkan eksistensinya dalam dunia seni pertunjukan teater kontemporer ini telah berusia delapan tahun. Dalam usia dasawarsa ini, sudah memproduksi dua puluh 23 bentuk reportoar.
Ram Prapanca bersama Teater Kita Makassar didalam proses penggarapan sebuah karya, terlebih dahulu melakukan penelitian dengan melakukan kajian dari berbagai masalah lingkungan, sosial, budaya, politik, hukum dan ekonomi, serta agama. Berbagai masalah tersebut di atas dibahas dan dikaji serta dianalisis oleh para pendukung pertunjukan lewat dialog conflic resolution dengan mengundang nara sumber yang kapabel di bidang manajemen konflik dengan mengedepankan konflik yang sedang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hasil dari dialog tersebut diekspresikan dengan cara latihan dan bereksplorasi. Cara tersebut merupakan ciri utama Teater Kita Makassar dalam melakukan proses menjejaki dan mencari hal-hal yang baru dan orisinil, baik berupa tema, judul, teks, gerak, bunyi, rupa, kostum maupun properti. Temuan itu, kelak dikemas dan dibangun menjadi sebuah karya seni pertunjukan teater.
Menurut Halim HD, networker kebudayaan asal Solo, dalam tulisannya yang berjudul “Beberapa Kecenderungan Teater di Daerah”,   mengemukakan bahwa Teater Kita Makassar memilik upaya yang tampak sarat untuk melibatkan diri dengan problematika lingkungannya, yang bukan cuma sosial politik, namun lebih dari itu menghunjam ke dalam persoalan daya hidup dari kebudayaan, pandangan hidup serta nilai-nilai antara pegangan yang dipercaya sebagai anutan masyarakat, dan di pihak lain muncul suatu gelombang perubahan akibat politik ekonomi yang terus menggerus harkat manusia dan membawanya ke dalam tingkah dan arah yang jauh dari harapan nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai tema sentral dari hidup; solidaritas, saling percaya dan junjungan kepada kejujuran (Harian fajar, Minggu 23 Nopember 1997).
Dalam percaturan teater kontemporer tingkat nasional, Teater Kita Makassar dikenal sebagai kelompok yang keras, militan, dan radikal, dengan intensitas yang tinggi dalam bermain. Hal ini telah dibuktikan lewat reportoarnya yang berjudul Kavling 2 M², Etalase Bulan Sabit II, dan Aku Pinjam Baju BaruBeberapa pertunjukan Teater kita Makassar telah ditulis para pengamat teater ke dalam buku, majalah dan surat kabar. Antara lain dalam buku Ideologi Teater Modern Kita penerbit Pustaka Gondho Suli dalam Festival Kesenian Yogyakarta XII – 2000, buku Profil 5 Teater di Makassar oleh Yudhistira Sukatanya penerbit Yayasan Kesenian Sulawesi Selatan – 2001, majalah Gatra terbitan 22 Juni 1996, dan surat kabar Kompas, Jawa Pos, Surabaya Pos, Suara Indonesia, Memorandum, Harian Fajar, Pedoman Rakyat, Ujungpandang Ekspres, dan The Jakarta Post, dan beberapa surat kabar di Australia. Selain itu, Teater Kita Makassar juga telah diteliti oleh pengamat budaya dan seni pertunjukan teater Lauren Bain dari Australia, Michael Bodden dari Canada, Halim HD dari Solo, dan Afrizal Malna dari Jakarta. Beberapa karya teaternya telah dijadikan tesis oleh beberapa mahasiswa, antara lain: Feminisme dalam Pertunjukan Bom Waktu Perempuan,  Simbolisme dalam Pertunjukan Aku Pinjam Baju Baru, Tata Teknik Pentas dalam Bom Waktu Perempuan,  Penataan Bunyi dalam musik Iringan Pertunjukan Etalase Bulan Sabit II,  Analisis Ekspresi dalam Lakon Etalase Bulan Sabit II, dan Eksistensi Teater Kita Makassar.

Pelayeran Menuju Ibu (Jangan Lupakan Warna Merah), bersama Afrizal Malna, 7 November 2009 
di Gedung Teater Cak Durasim pada Festival Teater Rakyat Indonesia di Surabaya.


 
"Aku Pinjam Baju Baru", 6 – 12 April 2001 di Taman GOR pada Palu-Indonesia Dance Forum Sulawesi Tengah, 19 Mei 2001 
di Teater Arena Societeit de Harmonie Makassar pada Hari Ulang Tahun ke-23 Sanggar Merah Putih Makassar, dan 6 Oktober 2001 pada Journal Of Moment Arts (JOMA), Sanggar Merah Putih Makassar, dan pada Festical Cak Durasim Surabaya.



sebuah biografi
 
ASIA RAMLI PRAPANCA

Oleh Dr. Andi Halilintar Lathief

Asia Ramli Prapanca, 1960 di Desa Usuku, Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Ram lahir dari kelurga pelaut. Ayah kandungnya, H. Ramli, pedagang kopra dan cengkeh, memilki dua buah perahu layar, dan  biasa memuat kopra dan cengkeh di Maluku lalu di jual di Jawa. Tapi sayang, sudah lama Ram ditinggalkan ayahnya, dan kini ia masih memilki seorang ibu yang sederhana, bernama Hj. Siti Salmah, umur 85 tahun, yang saat ini sedang bersama putrinya yang sudah lama menetap di Pasuruan. Di hati Ram, ibunya seperti seorang pahlawan yang telah merawat dan membesarkan 11 putra-putri, dan Ram sebagai anak ke lima. Selain 11 anak ini, ibunya juga merawat dan membesarkan anak-anak angkat dari keluarganya, baik dari kampung itu maupun keluarga dari pulau-pulau lain. Di masa gadisnya, ibunya pernah ikut menari tarian tradisional “Lareangi”.
Ram tamat di SD Negeri Usuku, 1972. Semasih kecil dibesarkan dalam lingkungan budaya kepulauan yang akrab dengan cerita-cerita rakyat, dongeng, tari dan music serta lagu-lagu pesisiran, tapi juga budaya dari Sulawesi, Maluku dan Jawa, Malaysia, dan Arab yang dibawa oleh orang-orang pulaunya jika sudah pulang dari tempat-tempat tersebut. Ia senang menyaksikan acara-acara kesenian yang ditampilkan pada pesta perkawinan yang disuguhi selain orkes yang mengundang orang sekampung untuk berjoget sampai pagi, juga beberapa macam-macam tarian, antara lain tarian “Lareangi”, tarian “Balumpa”, dan tarian “Pakenta-kenta”.
Di masa kecil itu, ia memilki segudang memori yang tidak dapat dilupakan, antara lain: sebelum ia tidur, neneknya terlebih dahulu selalu mendongengkannya sebagai pengantar tidur dengan disertai nyanyian. Berbagai dongeng dan nyanyian yang telah didengarkannya, antara lain, “La Ndokendoke”, “La Kolo-kolopua”, “Wa Komba-komba”, dan “Wa Ndiu-diu”. Sejak kecil, ia sudah akrab dan mahir memainkan permainan rakyat yang sering ia mainkan bersama teman-temannya di halaman rumah gadangnya, antara lain: permainan “Ase”, “Tuttu-tuttu kaluku”,  dan “To Okko-okko”.  Selain itu, ia juga sudah mahir memainkan tari “Eja-Eja” yang diajarkan oleh kakaknya, La Ode Ali Hanafi.
Hal lain yang telah melengket dalam dirinya yang menjadi bagian dari keseniannya ialah permainan dan upacara ritual yang ditampilkan hanya sekali dalam setahun, yaitu pada saat Maulid Nabi, antara lain permainan “Luttu-luttunani” (semacam permainan silat dengan memakai tongkat), dan upacara ritual dengan menghiasi perahu dengan telur, dan bendera-bendera dari uang, dan berbagai makanan tradisi, lalu dilepaskan ke laut. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara “Kekewua”, yakni semua masyarakat ikut terlibat di laut di tepi pantai untuk secara bersama-sama mengkeruhkan air laut dengan menggerakkan kakinya ke pasir agar ikan-ikan pada mabuk dan pusing lalu mengapung. Ikan-ikan itu lalu dibawa ke rumah masing-masing sejumlah genggaman di tangannya.
Di masa kanak-kanak ini, Ram aktif belajar mengaji, bahkan ayahnya mendatangkan langsung dua guru mengaji dari Pasuruan dan tinggal di rumahnya. Hal lain yang tak dapat ia dilupakan ialah pada saat para pelajar SMA dan mahasiswa pulang dari kota berlibur pada bulan puasa di kampungnya. Ia sangat senang menyaksikan Baharuddin yang tinggal di depan rumahnya membuat pertunjukan boneka-boneka kecil (dari tusukan permen), lalu dimainkan lewat jendela rumahnya dengan menggunakan layar, seperti permainan wayang. Para pelajar dan mahasiswa ini juga menggelar berbagai pementasan di atas panggung yang besar di lapangan bola kaki, antara lain visualisasi puisi, tarian, dan pertunjukan drama. Dalam pertunjukan itu, Ram selalu dilibatkan, terutama dalam visualisasi puisi dan pertunjukan drama.
Di masa SD, Ram selalu terlibat dalam lomba baca puisi. Malah pernah, dalam suatu lomba baca puisi yang dilaksanakan pada HUT Kemerdekaan di kota Kecamatan, ia menyuruh ibunya dibuatkan pakaian dari kulit semen, karena pada saat membacakan satu bagaian teks dari puisi itu, ia akan merobek pakaian dari kulit semen itu. Di masa SD ini banyak memori yang tidak dapat ia lupakan, termasuk pada setiap hari Sabtu sore, ia bersama kakak sepupunya pergi melaut, untuk memancing ikan dengan menggunakan sampan kecil. Dengan sampan kecil itu mereka berlayar meninggalkan pulaunya menuju pulau-pulau kecil mencari umpan ikan yang disebut “ulo” (cacing) laut di hamparan pasir, rumput laut dan batu karang. Dari pulau-pulau kecil itu, lalu mereka berlayar lagi sampai tidak kelihatan pulau ke tempat sumber ikan. Semalaman mereka memancing ikan dan paginya, mereka berlayar pulang ke pulauanya dengan membawa ikan separuh sampan lalu dijual di pasar hari minggu.
Di masa SD itu, Ram pernah diajak oleh ayahnya berlayar dengan perahu kayunya ke Jawa untuk menjual kopra di Semarang. Ada empat anak sebayanya juga ikut diajak oleh ayahnya masing-masing. Biasanya pelayaran dengan perahu dari pulauanya ke Jawa kalau cuaca dan angin bagus, dapat ditempuh satu minggu. Tapi kalau cuaca dan angin kurang bagus, biasanya dua minggu. Di tengah pelayaran menuju Jawa itu, mereka bermain “Ase” di atas perahu. Tiba-tiba Ram jatuh ke laut karena kehilangan keseimbangan dalam permainan itu. Pada saat itu, perahu sedang melaju kencang. Ram dikira ikan besar karena tali pancing yang biasa diturunkan dari perahu untuk memancing ikan tiba-tiba tertarik kencang. Tali itu ditarik oleh awak perahu, tapi ternyata bukan ikan besar, tapi Ram, anak pemilik perahu, yang ketika jatuh dari perahu, ia terlilit dengan tali senar itu. Ketika ia diangkat ke geladak perahu, bukan kasih sayang yang diperoleh dari ayahnya, tapi sebuah kemarahan besar yang menempel di telapak tangan sang ayah dan mendarat dipipinya. Sampai sekarang Ram selalu merasa, bahwa ia pernah mati di laut itu.
Di masa SD nya ini juga, Ram pernah diburu oleh ayahnya dengan parang di dalam rumah, dan Ram terjun lewat jendela rumahnya yang tinggi dari tanah sekitar lima meter. Ayahnya memburunya lewat tangga rumah dan Ram lari menjauh sambil melempar ayahnya dengan batu. Karena ia tidak mengenai ayahnya, ia pun melempar rumahnya dan menghancurkan kaca-kaca jendela. Ram akhirnya ditangkap, dan sebagai hukumannya, ia digulung dengan tikar yang terbuat dari bilah bambu lalu diinjak-injak. Karena ia masih berteriak-teriak, ia pun dilepas lalu dimasukkan ke dalam karung goni dan diikat. Jangankan berteriak-teriak, nafas pun hampir habis karena di dalam karung goni itu, ternyata penuh dengan asap dari sabuk kelapa.  Karena dianggap sudah cukup hukumannya, Ram lalu dikeluarkan kemudian dimandikan dan beberapa permintaannya dikabulkan oleh Ibunya yang sejak peristiwa itu hanya bisa menahan kesabaran. Tapi bagi Ram, ayah dan ibunya adalah pertemuan antara ombak dan pantai, dan Ram sebagai buihnya. Tanpa ombak dan pantai, buih tak akan pernah ada.
Bagi Ram, semua memori di masa kanak-kanaknya ini seperti masih tersimpan dalam sebuah “peti kayu” milik orang tuanya di kampung yang sampai sekarang ia bawa-bawa terus. Bagi dia, peti kayu itu semacam tempat menyimpan sejarah, kopra, cengkeh, rempah-rempah dari Maluku, radio transistor, patidonsi, beras dan gula pasir serta baju-baju baru dari Jawa, cacing, rumput laut, batu karang, ikan-ikan, sampan, perahu layar, ombak, pantai, pulau-pulau dari Wakatobi, kurma, parfum, tasbih, sajadah, Al-Qur’an dan jubah putih dari Mekkah. Sebuah peti kayu mirip sebuah “lepa-lepa”, berlayar tanpa henti dan menambatkan talinya ke dermaga Makassar, menyunting sukma Benteng Somba Opu, Badik Pusaka, To’dopuli, Siri na Pacce, A’bulosibatang. Peti kayu tempat menyimpan sastra kepulauan dan teater laut, yang jejak-jejaknya menempel pada setiap puisinya dan karya teaternya.
Ram tamat di SMP Negeri Usuku, 1976. Di masa ini, ia selalu pindah-pindah. Hanya setahun di sekolah itu, ia pindah ke SMP Negeri 1 Banyuwangi 1974, mengikuti kakak iparnya yang waktu itu bekerja di Kejaksaan Banyuwangi. Ketika kakak iparnya pindah ke Pasuruan, ia pun pindah sekolah ke SMP Muhammadiyah Pasuruan. Di sekolah ini, ia mulai memperlihatkan bakatnya sebagai pembaca puisi. Tapi karena lebih banyak bermain di kebun tebu, ia pun dipulangkan oleh kakaknya ke kampung halamannya dan kembali sekolah di SMP Negeri Usuku. Di kampungnya, Ram dikenal sebagai keluarga guru. Dua kakak kandungnya dan dua kakak iparnya mengajar di SMP.  Di masa SMP ini, ia selalu mewakili sekolahnya dalam lomba baca puisi.
Setamat dari SMP, ia lanjutkan ke SMA Negeri 1 Bau-bau. Tapi hanya satu tahun, karena terlibat perang antara anak-anak polisi dengan anak-anak tentara, ia pun pindah ke SMA Muhammadiayah Ambon dan tamat 1980. Di Ambon, ia mengikuti kegiatan kesenian, antara lain baca puisi dan bermain teater yang diasuh oleh guru bahasa Indonesianya.
Setelah menyelesaikan studinya di Ambon, Ram diantar oleh ayahnya ke Jakarta dengan perahu layar dan berlabuh di Tanjung Priok dengan tujuan untuk mendaftarkannya di salah satu perguruan tinggi atau kalau tidak, ia bisa diikutkan bekerja dalam salah satu perusahaan keluarga yang telah berhasil di Jakarta. Ram ikut saja, meskipun pada akhirnya tujuan itu tidak terlaksana, karena Ram lebih memilih hidup bebas, bergaul dengan kawan-kawan barunya di Priok, sebuah kehidupan bebas yang melebihi ketika di kota Ambon, tapi amat jauh berbeda dengan di kampung halamannya, di Usuku. Merasa capek di Jakarta, ia ke kakaknya di Pasuruan. Tidak betah di sana, ia pun kembali ke Ambon.
Tahun 1981, ayahnya meninggal di atas pangkuannya. Ram sedih. Kakak-kakaknya menghiburnya, dan menyuruhnya untuk masuk kuliah di IKIP Ujungpandang. Pada masa inilah, Ram mulai menampakkan bakatnya sebagai penulis sastra dan pemain teater. Ia hidup dalam dunia Puisi, Teater, dan Pers. Hampir seluruh pikiran dan perasaannya ia tumpahkan di sana.  Selain menjadi ketua Teater Kampus dan salah seorang pencetus Sanggar Sastra Kampus dengan kegiatan yang bertumpuk, ia aktif di Pers Kampus Mahasiswa dan merintis Buletin Profesi menjadi Tabloid Profesi sekaligus menjadi Pemimpin Redaksi-nya yang pertama selama dua periode. Ia juga pernah menjadi ketua Baruga Colliq PujiE FBS Universitas Negeri Makassar. Bersama Teater Kampus IKIP Ujungpandaang, ia telah menyutradari pementasan puisinya berjudul “Puisi Sepanjang Karang”, “Sukmaku di Tanah Makassar”, dan “Berdiam dalam Batu”. Ia juga menyutradarai “Dara Jingga” yang diadaptasi dari novelette karya A. Chaniago,“I Mangkawani’ karya A.M. Mochtar, “Mega-mega” karya Arifin C. Noer, “Kenduri” karya Rahman Arge, “Front” karya Putu Wijaya. Bersama Teater Kampus dan Baruga Colluq PujiE, ia mendampingi mahasiswa mementaskan karyanya “Etalase Bulan Sambit II” pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiniminas) di Surabaya, dan “Kenduri” karya Rahman Arge pada Peksiminas di Lampung.
Di luar kampus, Ram ikut bersama Sanggar Merah Putih Makassar dan mementaskan beberapa drama yang disutradarai oleh Yoedhistira Sukatanya, antara lain “Perguruan”, karya Wisran Hadi, “Interogasi atawa Biarkan Tuhan Bicara” karya Arifin C, Noer, “Sang Tokoh”, “Sang Penguasa” karya Yoedhistira Sukatanya, “Bom Waktu” karya N. Riantiarno dengan sutradara Moch. Hasymi, “Sang Guru” karya dan sutradara Moch. Hasymi. Ia juga main dalam pementasan drama klasik Bugis “I Mangkawani” karya dan sutradara A.M. Mochtar. Selain itu, ia juga main sebagai actor pada kelompok Teater Makassar Dewaan Kesenian Makassar dalam pertunjukan teater “Perahu Nuh II” yang dipentaskan di TIM Jakarta karya dan sutradara Aspar Paturusi. Selain itu, masih bersama Teater Makassar, ia main dalam drama “Kenduri”, karya dan sutradara Rahman Arge, dan “Sang Mandor” karya Rahman Arge dengan sutradara Fahmi Syariff, dan “Garumbang” karya Aspar dengan sutradara Kadir Ansari. Lalu bersama kelompok Teater Tambora, ia ikut main dalam pementasan drama “Maipa dan Datu Museng” karya Fahmi Syariff dengan sutradara Udhin Palisuri. Di masa ini, ia juga ikut berproses berbulan-bulan bersama actor dan sutradara teater Roland Ganamet dari Perancis dengan mementaskan “Aku Adalah Dunia”. Ketika bekerja bersama Roland Ganamet, Ram berkenalan dengan gagasan dan pendekatan teater di luar konvensi dramaturgi realisme dengan narasi-narasi yang linear. Sutradara perancis itu bekerja dengan pendekatan kolase teks dan benda-benda yang digunakan sebagai properti pertunjukan.
Setelah menyelesaikan studinya di IKIP Ujungpandang, ia mendaftar sebagai PNS dan menjadi guru di SMEA Negeri Sengkang pada tahun 1987. Di sekolah ini, ia membina sastra dan teater di sekolahnya dan mementaskan drama “Kerikil-kerikil 45” karya Fahmi Syariff. Pada tahun 1990, ia pindah mengajar di SMKI Negeri Somba Opu di Sungguminasa kabupaten Gowa. Di sekolah ini, ia banyak membina teater pada jurusan teater. Ia pernah membawa siswa teater dengan menyutradarai drama “I Sarampa” karya Yoedhistira dan dipentaskan di panggung teater P3G Kesenian Yogyakarta.
Ketika ia pindah mengajar di SMK Negeri 1 Galesong Selatan kabupaten Takalar, waktunya lebih banyak membimbing anak-anak mata pelajaran bahasa dan sastra, serta mata pelajaran seni budaya di kelas, dengan memperkenalkan budaya tradisional sebagai muatan local. Sejak 1995 sampai 2005, tenaganya dipakai sebagai dosen luar biasa di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Makassar dengan membimbing mata kuliah Drmaturgi, Dasar-dasar Teater, Tata Teknik Pentas, dan Pementasan pada Program Bidang Studi Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik). Pada tahun 2008, ia diajak oleh Dr. Halilintar Lathief mendirikan Institut Kesenian Makassar (IKM) dan sampai sekarang sudah mendapatkan SK dan telah menjalankan proses perkuliahan.
Di kota Makassar, Ram bekerja sebagai PNS dan juga menambatkan hidupnya dalam dunia teater. Di kota ini pula dia menyunting gadisnya dari kampung yang baru pulang dari Jakarta dan bekerja di Biro Klasifikasi Indonesia Cabang Makassar, salah satu perusahaan BUMN  di bidang survey perkapalan. Kini dia menetap di sebuah rumah di Jl. Daeng Tata I, Hartaco Indah Blok IV AD/10 kota madya Makassar bersama sang istri, Harsiah Ismail. Sedang anaknya semata wayang, Clarasati sedang menyelesaikan studinya di Malang, Jawa Timur. Di rumah inilah tempat anak-anak Teater Kita Makassar dan Teater Kampus UNM melakukan proses diskusi yang kemudian dari hasil diskusi itu dibawa dalam proses latihan dalam bentuk eksplorasi teater, baik bertempat di Baruga Colliq PujiE UNM maupun di beberapa tempat lain seperti di Benteng Somba Opu, Benteng Fort Rotterdam Makassar, dan bahkan di pantai, pulau, dan gunung.
Ram dalam proses berkeseniannya, ia selalu berangkat dari memori-meori tradisi di masa kanak-kanaknya di kampung Usuku, pulau Tomia. Memori-memori ini kemudian dipertajam ketika ikut proses bersama Yoedhistira Sukatanya, saat eksplorasi bersama actor dan sutradara Roland Ganamet dari Perancis pada awal tahun 80-an, dan pada saat eksplorasi habis-habisan di benteng Somba Opu bersama Dr. Halilintar Latief, Prof. Dr. Darmawan Mas’ud, Dr. Muchlis Paeni, Is Hakim, Amrullah Syam dan beberapa orang lain yang ikut mendirikan Badikpusaka (Balai Pendidikan Pendidikan Pusat Keseanian Somba Opu), serta pada saat keakrabannya dengan Afrizal Malna.
Sebagai landasan estetika teaternya, ia lebih banyak berangkat dari prosesnya bersama Badik Pusaka di Benteng Somba Opu, karena di sana ia banyak belajar dari Dr. Halilintar Lathief tentang nilai-nilai tradisi dan upaca ritual Bugis-Makassar yang dieksplorasi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dalam pertunjukan “Bunga Rampai Somba Opu” karya Dr. Halilintar Lathief yang dipentaskan oleh Badikpusaka, Ram dipercayakan sebagai asisten sutradara yang sampai sekarang sulit untuk dilupakan oleh para pendukungnya dan penonton yang menyaksikannya. Pertunjukan yang dipentaskan pada tanggal 22 Juli 1991 dalam Pekan Budaya Daerah II Sulawesi Selatan itu, merupakan sebuah pertunjukan kontemporer yang mengkolaborasikan semua unsur seni, yaitu tari, musik, teater, dan seni rupa dengan bersumber  dan mengeksplorasi akar budaya dan seni tradisional Makassar, antara lain: Mappasere/Appalili, Kondobuleng, Angngaru, Kalompoang, Toddopuli, Bunduk Api, Pakarena, dan Siri na Pacce. Pertunjukan kolosal yang dimainkan oleh 80 paganrang dan sekitar 220 penari dan aktor dari berbagai kelompok seni di Sulawesi Selatan ini seperti menjadi semacam “Teater Upacara Bersama” dengan merekonstruksi beberapa kejadian saat-saat runtuhnya Benteng Somba Opu pada tahun 1669, yang bukan semata-mata rentetan kenyataan tanpa arti, sebab tanah, jiwa dan harga diri telah dikorbankan demi kemerdekaan dan kemanusiaan. Puncak dari pertunjukan Bunga Rampai Somba Opu, yaitu pada saat semua para tobarani (laskar) kepayahan dalam Benteng seusai perang. Mereka terkepung dalam susana kesedihan dan kelaparan. Sebagian laskar patah semangat. Tapi tiba-tiba, seorang wanita muncul mangaru: “Ikau buranea, pua tenamo ero sulu abundu pantanga parang. Bajikangi nusungke ngaseng saluaranu. Naikatte ngaseng Bainea amppakai, sambeyangko ri pabundukang.” Ketika mendengar kata-kata itu, semua tubuh para laskar berkobar. Mata mereka menyala tidak berkedip. Nafas mereka menghembuskan api. Mereka bangkit demi harga diri. Mereka serentak angngaru. Demonstrasi gendang, adegan toddopuli, perang habis-habisan, perang perisai, tombak, keris, ada adegan appitoto, kepanikan, kesedihan, kemarahan, humor, pengkhianatan, herois, pengecut. Pasukan kuda saling bersimpang siur. Orang lari kiri kanan di luar panggung. Terjadi pembakaran sekitar panggung dan di belakang penonton. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Semua rata dengan tanah. Pada saat itu muncul figur Aru Palaka di tengah reruntuhan benteng dan mayat. Ia bermandikan darah. Figur itu begitu tenang. Ia menggumam: “Iye taniya pangadilang sejarah Ammure. Labeni Musu’e, idi tetap selessureng.” Tiba-tiba ledakan meriam membahana bersama percikan kembang api luncur di udara. Mereka itulah semua yang menarik minat Ram memasuki dunia teater sambil tetap menulis puisi. Ram belajar dari mereka, membaca pikiran mereka lewat tulisan dan dialog, menggeluti karya-karyanya, dan tidak jarang menjadi pemain dalam pertunjukan mereka atau terlibat gagasan-gagasan yang sedang mereka bangun. Berkat mereka minat baca, menulis, dan menonton Ram menjadi lebih besar dan luas. Di kemudian hari dia bahkan tidak lagi sekadar bertumpu pada mereka, tetapi juga menelusuri siapa tokoh-tokoh yang mempengaruhi mereka dan ikut mempelajari kekuatannya.
Dalam proses eksplorasi di Benteng Somba Opu itu, alhasil, Ram dapat mengembangkan dua bidang sekaligus yaitu pusi dan teater. Sejatinya puisi dan teater telah menjadi dua bidang minat yang merasuki dirinya dan saling isi-mengisi dalam proses kreatifnya. Boleh jadi lantaran itu, pengamat melihat karya-karya teaternya minim kata dan bahasa, yang muncul di sana terkesan puitis. Sebaliknya, kata mereka, puisi-puisinya dramatik dan teatrikal, terutama itu akan semakin tampak jika dia membacakannya di depan publik. Mungkin pendapat-pendapat itu ada benarnya. Namun, yang pasti, bagi dia teater itu permainan imajinasi. Dia ingin mengajak penonton ikut berimajinasi. Karakter pemain-pemainnya tidak pernah terlalu jelas. Itu karena dia tidak mengarahkan mereka, tetapi mengupayakan mereka menggali biografinya sendiri yang memiliki kekhasan dengan latar belakang lingkungan dan etnik masing-masing. Untuk keperluan itu, dia giat mengajak mereka melakukan eksplorasi yang cukup menguras energi dengan mengunjungi daerah-daerah pesisir, mendatangi pulau-pulau, memasuki pedalaman, dan menggulati lokasi-lokasi situs bersejarah.
Pada masa itulah selain menulis cukup banyak puisi, dia juga menggelar sejumlah pementasan teater. Hubungan antara puisinya dan teaternya sangatlah erat karena umumnya karya-karya teaternya bertolak dari puisi-puisinya dan diberi nuansa ritual yang diperolehnya dari Badik Pusaka.




AKTOR
TEATER KITA MAKASSAR

Is Hakim
Lahir di Makassar 21 Agustus 1962. Pernah kuliah pada Jurusan Seni Rupa IKJ Jakarta.
Exhibition & Colaboration: 1985 Biennale Young Artis Indonesia TIM, Jakarta, 1986 ISRI Fort Rotterdam, Makassar, 1986 MASK and MAN Goethe Institute Jakarta, 1987 87 Group Fort Roterdam Makassar, Action Painting With Tunrung Pakanjara,  1989- “Perjalanan Seni Rupa” Temu Karya Seniman, Papan Catur UNHAS Baraiyya- Exhibition Painting With Groups, Fort Rotterdam,1990 - SOLAR ENERGY France-Indonesia , Marannu Hotel UP. And UKM UNHAS Makassar, 1991 Maccini Danggang Gallery Fort Somba Opu, 1992 ONE MAN- SHOW South Sulawesi Cultural Fair Fort Somba Opu, 1993 South Sulawesi Cultural Fait IV, 1993 Environmental Art Part I August Sungguminasa Gowa Sulawesi, 1996 Art Experiment Environmental Art Part II Desember Lasaran Garden Building Makassar, 1997 Seni per INGAT an Rupa-rupa Envoronmental Art Part 3 A (15 menit), February Auditorium RRI Makassar, 1999 Painting Proposal Axhibition, Sedona Hotel Makassar, 2000 Instalation Art Exhibition- 5 Man Joint with Japan Foundation, Societeit De Harmoni Makassar. Performing Arts: 1991 South Sulawesi Traditional Performing Arts Fort Somba Opu Makassar, 1992 Parade Bendera Traditional South Sulawesi Cultural Fair Fort Somba Opu Makassar, 1994 Embrio Gugur,  Fort Roterdam Makassar, 1994 Para Karaeng TIM Jakarta, 1994 Takbir Akbar, Stadion Mattoanging, 1995 Total Attack Toddopuli Temmalara Palopo South Sulawesi, 1995- 1. Instalation Arts Batu Palantikang Gowa, 2. Kraton Arts Festival Solo- Surakarta Central Java, 1995 Sharing Time Ritual Art and Cultural Environment Lemah Putih Mojosongo Solo Central Java, 1996 Kavling 2M²  Surabaya Arts Festival East Java, 1996 Parade Bendera Traditional Ritual Performing Gowa Birthday South Sulawesi, 1997 Keraton Arts Festival , Cerebon West Java, 1998 Songkabala Penghuni Pulau Environment Day Part 1 Auditorium RRI Makassar- Part II Samalona Island Makassar, 2000 Bissu Ritual Art, Lintas, Meong Palo Joint with Japan Fundation TUK Jakarta, KKSS Jakarta, STSI Solo, 2001 Bom Waktu Perempuan Auditorium RRI Makassar, Aku Pinjam Baju Baru, Palu-Indonesia Dance Forum, 2001, Mitos-mitos Kecemasan 2001. Sculpture:1988, Monumen Perjuangan, Bulukumba1994, Monumen Perjuangan Polmas. TVRI Makassar: Datu Cammanni, Latarnusa, Gatra Kencana (Lokation: 1. Barru, 2. Benteng Somba Opu), Mari Menggambar, Sanggar Benteng Ujung Pandang Sangiang Seri, Latarnusa.

Faizal Yunus

Sarjana Seni Rupa Universitas Negeri Makassar lahir di pesisir pantai Kabupaten Barru Sulawesi Selatan . Mengenal teater sejak sekolah dasar di kampungnya. Ia sempat mampir di beberapa kelompok teater di Makassar dan kemudian berlabuh di Teater Kita Makassar. Sejak SD hingga perguruan tinggi berkali-kali menjuarai lomba baca puisi dan berperan di beberapa sinetron produksi TVRI . Kecintaanya pada teater dibuktikan dalam disiplin dan kerja keras pada produksi pertunjukan Teater Kita Makassar, antaralain: Namaku Batu I, di Fort Roterdam 1993. Berdiam Dalam Batu, 9 Desember 1994 di Benteng Fort Roterdam Makssar. Namaku Batu II, di Aula Lanto Daeng Pasewang 1995 kerjasama Penerbitan Kampus Profesi UNM. Nyanyian Kubur, 15 Januari 1995 di halaman kampus FBS UNM Parangtambung. Manusia Dalam Karung, di bawah halaman Kampus UNM Parangtambung 1996. Kavling 2M² (ikut proses latihan dari awal sampai terakhir tapi tidak ikut pentas di Surabaya karena tiba-tiba pada ayahnya meninggal). Perempuan Di Atas Piring, 29 Desember 1996, pada pesta Petta Puang di Auditorium RRI. Mungkin Tentang Kita, 4 Mei 1997 pada renungan AIDS kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam. BAH (Bah Atas Bah Bawah) pada hari Lingkungan Hidup se-Dunia kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam  Makassar 1997. Songka Bala Penghuni Pulau, 22-26 April 1998 – Tolak Bala Ruwatan Bumi- di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar dan Pulau Samalona kerjasama FIK LSM dan UPC Jakarta. Inang Samudera-999, Hu’-Untukmu! Di Pantai Barombong, Pesisir Pantai Losari dan Dermaga Potere Makassar 1999, kerjasama Web Art Garden, Padepokan Lemah Putih Solo, FIK LSM pada hari Lingkungan Hidup se Dunia. Dongeng Sesudah Tidur, 20 Mei 1999 pada Pembukaan Pameran Besar Seni Rupa dan Instalasi Proyek Hati Nurani X DKSS di Monumen Mandala Makassar. Kapak Yang Menari, 16 Juni 1999 di Gedung Kesenian Societieit De Harmonie. Etalase Bulan Sabit II telah dipentaskan di Even: Temu Teater Eksperimen DKSS 8-10 November 1999, Peksiminas V, 29 November 1999 di Surabaya, Temu Sastra Kepulauan II 22 Pebruari 1999 di Gedung Societeit De Harmonie, Festival Seni Surabaya 2000 26 Pebruari 2000 di Taman Teater tertutup Balai Pemuda, Three days Experimen Theater 3 November 2000 di Taman Budaya Makassar, Journal of Moment Merah Putih 2000 di Societeit De Harmonie  The Garden of Humanity, kolaborasi bersama seniaman Belanda (Arie Van Duijin) dan Amerika (Elliyen Krisley) 10-30 September di Dermaga Potere, Malino, Selayar dan Taman Segitiga Makassar. Appanaung Ri Je’ne, 24 Oktober 2000 di Pantai Losari Makassar kerjasama Links Sulsel. Conflict Resolution dan Kolaborasi Pertunjukan Teater Bersama Kelompok Seni Makassar - Palu, 10-11 November 2000 kerjasama FIK-Ornop-Yapta-U dan Links Sulsel di Fort Roterdam. Bom Waktu Perempuan, 30 Maret 2001 kerjsama dengan LBH-P2i di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar, didukung oleh Global Fund for Women. Aku Pinjam Baju Baru, 19 Mei 2001 di Teater Arena Societeit de Harmonie Makassar pada Hari Ulang Tahun ke-23 Sanggar Merah Putih Makassar.  Mitos-mitos Kecemasan , 27 Agustus 2001 di Taman Budaya Makassar, kerjasama FIK Ornop Sulsel, LML Sulsel, dan LBH-P2i. Opera Tanpa Kata di Gedung Kesenian Sosieteit de Harmonie Makassar tahun 2002. Enam Paragraf dari Ibu di Depan Benteng Fort Rotterdam Makassar dalam Journal Of Moment Arts tanggal 10 Oktober 2002. Aktor Teater-Tari- Musik “I Lagaligo” sutradara Robert Wilson.

Hamrin Samad

Ia lahir di Tanadoang pulau Selayar – Sulawesi Selatan. Menyelesaikan pendidikannya pada jurusan seni musik Universitas Negeri Makassar. Selain sebagai aktor di Teater Kita Makassar, sesekali juga kebagian sebagai pengisi bunyi pada setiap pertunjukan  Teater kita Makassar. Kali ini kembali mencoba ia sebagi pelakon. 1993 Tim BSMI Sulsel pada Peksiminas II di Denpasar Bali, 1995 Sharing Time Ritual and Environmental Art di Solo Jawa Tengah, 1996 pentas teater Kavling 2M² Surabaya Arts Festival di Surabaya, 1997  Musik Terbaik pada Peksiminas IV di Bandung, 1998 Eksplorasi and Discovery di Makassar, Toraja dan Solo, 1998 Festival Dergester di Berlin Jerman, 1999 Sharing Time Art-Temple-Art di Tejakula Bali. Ia terlibat penuh pada setiap produksi Teater Kita Makassar, antara lain: Namaku Batu I, di Fort Roterdam 1993. Nyanyian Kubur, 15 Januari 1995 di halaman kampus FBS UNM Parangtambung. Manusia Dalam Karung, di bawah halaman Kampus UNM Parangtambung 1996. Kavling 2M², 11-12 Juni 1996 pada Festival Seni Surabaya di Teater Arena Balai Pemuda. Perempuan Di Atas Piring, 29 Desember 1996, pada pesta Petta Puang di Auditorium RRI. Mungkin Tentang Kita, 4 Mei 1997 pada renungan AIDS kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam. BAH (Bah Atas Bah Bawah) pada hari Lingkungan Hidup se-Dunia kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam  Makassar 1997. Songka Bala Penghuni Pulau, 22-26 April 1998 – Tolak Bala Ruwatan Bumi- di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar dan Pulau Samalona kerjasama FIK LSM dan UPC Jakarta. Inang Samudera-999, Hu’-Untukmu! Di Pantai Barombong, Pesisir Pantai Losari dan Dermaga Potere Makassar 1999, kerjasama Web Art Garden, Padepokan Lemah Putih Solo, FIK LSM pada hari Lingkungan Hidup se Dunia. Dongeng Sesudah Tidur, 20 Mei 1999 pada Pembukaan Pameran Besar Seni Rupa dan Instalasi Proyek Hati Nurani X DKSS di Monumen Mandala Makassar. Kapak Yang Menari, 16 Juni 1999 di Gedung Kesenian Societieit De Harmonie. Etalase Bulan Sabit II telah dipentaskan di Even: Temu Teater Eksperimen DKSS 8-10 November 1999, Peksiminas V, 29 November 1999 di Surabaya, Temu Sastra Kepulauan II 22 Pebruari 1999 di Gedung Societeit De Harmonie, Festival Seni Surabaya 2000 26 Pebruari 2000 di Taman Teater tertutup Balai Pemuda, Three days Experimen Theater 3 November 2000 di Taman Budaya Makassar, Journal of Moment Merah Putih 2000 di Societeit De Harmonie  The Garden of Humanity, kolaborasi bersama seniaman Belanda (Arie Van Duijin) dan Amerika (Elliyen Krisley) 10-30 September di Dermaga Potere, Malino, Selayar dan Taman Segitiga Makassar. Appanaung Ri Je’ne, 24 Oktober 2000 di Pantai Losari Makassar kerjasama Links Sulsel. Conflict Resolution dan Kolaborasi Pertunjukan Teater Bersama Kelompok Seni Makassar - Palu, 10-11 November 2000 kerjasama FIK-Ornop-Yapta-U dan Links Sulsel di Fort Roterdam. Bom Waktu Perempuan, 30 Maret 2001 kerjsama dengan LBH-P2i di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar, didukung oleh Global Fund for Women. Aku Pinjam Baju Baru, 6 – 12 April 2001 pada Palu-Indonesia Dance Forum, 19 Mei 2001 di Teater Arena Societeit de Harmonie Makassar pada Hari Ulang Tahun ke-23 Sanggar Merah Putih Makassar.  Mitos-mitos Kecemasan , 27 Agustus 2001 di Taman Budaya Makassar, kerjasama FIK Ornop Sulsel, LML Sulsel, dan LBH-P2i. Opera Tanpa Kata di Gedung Kesenian Sosieteit de Harmonie Makassar tahun 2002. Enam Paragraf dari Ibu di Depan Benteng Fort Rotterdam Makassar dalam Journal Of Moment Arts tanggal 10 Oktober 2002. Aktor Teater-Tari- Musik “I Lagaligo” sutradara Robert Wilson.

I Edo Salabose

Ia lahir 29 tahun silam di tanah Mandar Sulawesi Selatan. Meraih kesarjanaannya pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar Jurusan Teknik Otomotif tahun 1998. Sejak kuliah ikut diberbagai lomba seni baik tingkat Daerah maupun tingkat Nasional. Pernah ikut pementasan yang digelar oleh Laboratorium Tari Nusantara (Latarnusa) - MSPI di Malang dan Bandung, Badik Pusaka Somba Opu. Disamping itu  ia juga menjadi anggota Paranormal dari Padepokan Gunung Lawu. Tetapi mesekipun demikian, ia tetap bangga bergelut dengan tanah, ranting, daun-daun kering, batu, api, kapak, kain-kain, serta sarung di setiap pementasan Teater Kita Makassar dan Baruga Colli Puji’E Makassar. Banyak mengerjakan kostum pada pertunjukan Aku Pinjam Baju Baru pada Palu-Indonesia Dance Forum 2001. Ia terlibat penuh pada setiap produksi Teater Kita Makassar, antara lain: Mungkin Tentang Kita, 4 Mei 1997 pada renungan AIDS kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam. BAH (Bah Atas Bah Bawah) pada hari Lingkungan Hidup se-Dunia kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam  Makassar 1997. Songka Bala Penghuni Pulau, 22-26 April 1998 – Tolak Bala Ruwatan Bumi- di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar dan Pulau Samalona kerjasama FIK LSM dan UPC Jakarta. Inang Samudera-999, Hu’-Untukmu! Di Pantai Barombong, Pesisir Pantai Losari dan Dermaga Potere Makassar 1999, kerjasama Web Art Garden, Padepokan Lemah Putih Solo, FIK LSM pada hari Lingkungan Hidup se Dunia. Dongeng Sesudah Tidur, 20 Mei 1999 pada Pembukaan Pameran Besar Seni Rupa dan Instalasi Proyek Hati Nurani X DKSS di Monumen Mandala Makassar. Kapak Yang Menari, 16 Juni 1999 di Gedung Kesenian Societieit De Harmonie. Etalase Bulan Sabit II telah dipentaskan di Even: Temu Teater Eksperimen DKSS 8-10 November 1999, Peksiminas V, 29 November 1999 di Surabaya, Temu Sastra Kepulauan II 22 Pebruari 1999 di Gedung Societeit De Harmonie, Festival Seni Surabaya 2000 26 Pebruari 2000 di Taman Teater tertutup Balai Pemuda, Three days Experimen Theater 3 November 2000 di Taman Budaya Makassar, Journal of Moment Merah Putih 2000 di Societeit De Harmonie  Appanaung Ri Je’ne, 24 Oktober 2000 di Pantai Losari Makassar kerjasama Links Sulsel. Conflict Resolution dan Kolaborasi Pertunjukan Teater Bersama Kelompok Seni Makassar - Palu, 10-11 November 2000 kerjasama FIK-Ornop-Yapta-U dan Links Sulsel di Fort Roterdam. Bom Waktu Perempuan, 30 Maret 2001 kerjsama dengan LBH-P2i di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar, didukung oleh Global Fund for Women. Aku Pinjam Baju Baru, 6 – 12 April 2001 pada Palu-Indonesia Dance Forum, 19 Mei 2001 di Teater Arena Societeit de Harmonie Makassar pada Hari Ulang Tahun ke-23 Sanggar Merah Putih Makassar.  Mitos-mitos Kecemasan , 27 Agustus 2001 di Taman Budaya Makassar, kerjasama FIK Ornop Sulsel, LML Sulsel, dan LBH-P2i. Enam Paragraf dari Ibu di Depan Benteng Fort Rotterdam Makassar dalam Journal Of Moment Arts tanggal 10 Oktober 2002.

Rahman Labaranjang

Ia lahir di Makassar – Sulawesi selatan, berdarah Buttatoa Bantaeng. Alumni Seni Rupa UNM ini aktif di Teater Kita Makassar dan Baruga Colli PujiE Makassar sejak tahun 1994 sampai kini. Ia ikut produksi Teater Kita Makassar, antara lain: Namaku Batu I, di Fort Roterdam 1993. Nyanyian Kubur, 15 Januari 1995 di halaman kampus FBS UNM Parangtambung. Manusia Dalam Karung, di bawah halaman Kampus UNM Parangtambung 1996. Mungkin Tentang Kita, 4 Mei 1997 pada renungan AIDS kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam. BAH (Bah Atas Bah Bawah) pada hari Lingkungan Hidup se-Dunia kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam  Makassar 1997. Songka Bala Penghuni Pulau, 22-26 April 1998 – Tolak Bala Ruwatan Bumi- di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar dan Pulau Samalona kerjasama FIK LSM dan UPC Jakarta. Inang Samudera-999, Hu’-Untukmu! Di Pantai Barombong, Pesisir Pantai Losari dan Dermaga Potere Makassar 1999, kerjasama Web Art Garden, Padepokan Lemah Putih Solo, FIK LSM pada hari Lingkungan Hidup se Dunia. Dongeng Sesudah Tidur, 20 Mei 1999 pada Pembukaan Pameran Besar Seni Rupa dan Instalasi Proyek Hati Nurani X DKSS di Monumen Mandala Makassar. Kapak Yang Menari, 16 Juni 1999 di Gedung Kesenian Societieit De Harmonie. Etalase Bulan Sabit II pada Temu Sastra Kepulauan II 22 Pebruari 1999 di Gedung Societeit De Harmonie, Festival Seni Surabaya 2000 26 Pebruari 2000 di Taman Teater tertutup Balai Pemuda, Three days Experimen Theater 3 November 2000 di Taman Budaya Makassar, Journal of Moment Merah Putih 2000 di Societeit De Harmonie. Appanaung Ri Je’ne, 24 Oktober 2000 di Pantai Losari Makassar kerjasama Links Sulsel. Conflict Resolution dan Kolaborasi Pertunjukan Teater Bersama Kelompok Seni Makassar - Palu, 10-11 November 2000 kerjasama FIK-Ornop-Yapta-U dan Links Sulsel di Fort Roterdam. Bom Waktu Perempuan, 30 Maret 2001 kerjsama dengan LBH-P2i di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar, didukung oleh Global Fund for Women. Aku Pinjam Baju Baru, 6 – 12 April 2001 pada Palu-Indonesia Dance Forum, 19 Mei 2001 di Teater Arena Societeit de Harmonie Makassar pada Hari Ulang Tahun ke-23 Sanggar Merah Putih Makassar.  Mitos-mitos Kecemasan , 27 Agustus 2001 di Taman Budaya Makassar, kerjasama FIK Ornop Sulsel, LML Sulsel, dan LBH-P2i. Opera Tanpa Kata di Gedung Kesenian Sosieteit de Harmonie Makassar tahun 2002. Enam Paragraf dari Ibu di Depan Benteng Fort Rotterdam Makassar dalam Journal Of Moment Arts tanggal 10 Oktober 2002.

Agusriadi

Lahir di tanah Bugis Bulukumba – Sulawesi Selatan tanggal 15 Agustus 1966. Kuliah pada Jurusan Seni Rupa IKIP UP (kini Universitas Negeri Makassar). 1987 Pameran Besar Seni Rupa dalam rangka Dies Natalis IKIP UP. 1988 Pameran Seni Rupa Himpunan Mahasiswa seni Rupa FBS UNM. Banyak terlibat dalam seni pertunjukan produksi Laboratorium Tari Nusantara (Latarnusa) bersama Halilintar Lathief, antara lain: dalam pergelaran Tari Pattasi HUT TVRI Makassar Barru, 1989 Tim Tari IKIP Makassar pada Festival Tari Mahasiswa di Makassar, Tim tari Latar Nusa pada beberapa pergelaran tari di Makassar, 1993 Tim BSMI Sulawesi Selatan pada Peksiminas II di Denpasar Bali, 1995 Total Attack Toddopuli Temmalara Palopo Luwu, 1992 Parade Bendera Pusaka di Benteng Somba Opu, 1995 Tari Emas 50 Jam di Makassar, 1997. Sampai sekarang aktif dalam pertunjukan rutin di Baruga Colli PujiE Makassar. Pernah ikut Prapto antara lain: 1999 Sharing Time Art-Temple-Art di Tejakula Bali, 1999 Open Day di Wisma Seni TBS Solo Jawa Tengah. Ia ikut terlibat pada produksi Teater Kita Makassar, antara lain: Manusia Dalam Karung, di bawah halaman Kampus UNM Parangtambung 1996. Mungkin Tentang Kita, 4 Mei 1997 pada renungan AIDS kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam. BAH (Bah Atas Bah Bawah) pada hari Lingkungan Hidup se-Dunia kerjasama FIK LSM di Fort Roterdam  Makassar 1997. Songka Bala Penghuni Pulau, 22-26 April 1998 – Tolak Bala Ruwatan Bumi- di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar dan Pulau Samalona kerjasama FIK LSM dan UPC Jakarta. Inang Samudera-999, Hu’-Untukmu! Di Pantai Barombong, Pesisir Pantai Losari dan Dermaga Potere Makassar 1999, kerjasama Web Art Garden, Padepokan Lemah Putih Solo, FIK LSM pada hari Lingkungan Hidup se Dunia. Dongeng Sesudah Tidur, 20 Mei 1999 pada Pembukaan Pameran Besar Seni Rupa dan Instalasi Proyek Hati Nurani X DKSS di Monumen Mandala Makassar. Kapak Yang Menari, 16 Juni 1999 di Gedung Kesenian Societieit De Harmonie. Etalase Bulan Sabit II pada Temu Sastra Kepulauan II 22 Pebruari 1999 di Gedung Societeit De Harmonie, Festival Seni Surabaya 2000 26 Pebruari 2000 di Taman Teater tertutup Balai Pemuda, Three days Experimen Theater 3 November 2000 di Taman Budaya Makassar, Journal of Moment Merah Putih 2000 di Societeit De Harmonie. Appanaung Ri Je’ne, 24 Oktober 2000 di Pantai Losari Makassar kerjasama Links Sulsel. Conflict Resolution dan Kolaborasi Pertunjukan Teater Bersama Kelompok Seni Makassar - Palu, 10-11 November 2000 kerjasama FIK-Ornop-Yapta-U dan Links Sulsel di Fort Roterdam. Bom Waktu Perempuan, 30 Maret 2001 kerjsama dengan LBH-P2i di Auditorium RRI Nusantara IV Makassar, didukung oleh Global Fund for Women. Aku Pinjam Baju Baru, 6 – 12 April 2001 pada Palu-Indonesia Dance Forum, 19 Mei 2001 di Teater Arena Societeit de Harmonie Makassar pada Hari Ulang Tahun ke-23 Sanggar Merah Putih Makassar.  Mitos-mitos Kecemasan , 27 Agustus 2001 di Taman Budaya Makassar, kerjasama FIK Ornop Sulsel, LML Sulsel, dan LBH-P2i. Enam Paragraf dari Ibu di Depan Benteng Fort Rotterdam Makassar dalam Journal Of Moment Arts tanggal 10 Oktober 2002.

Bagong
Ia lahir di Sidenreng Rappang – Sulawesi Selatan, 13 Mei 1967. Alumni Universitas negeri Makassar pada Jurusan Fisika. Selama kuliah ia aktif di penerbitan kampus Profesi, tabloid Mingguan Nene Mallomo Makassar serta tabloid Mingguan Amanat Rakyat. Banyak membantu pada setiap produksi Baruga Colli PujiE Makassar dan Teater Kita Makassar dalam seni grafis.

Sukma Sillanan
Arifin Manggau
Solihing
Sudirman Leo
Andi Tenri Awaru
Satriani
S. Palintin
Muh, Ishaq
Dalif Palipui
Andre
Awal Coqo
Takdir



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar